Dari 'Polymedia' Hingga 'Etnografi Tagar': Beberapa Pendekatan Antropologi Kontemporer Terkait Teknologi Digital
![]() |
Sumber: id.depositphotos.com |
Apakah sesuatu yang
bersifat digital, atau segala sesuatu yang berada di dunia maya adalah ‘tidak
nyata’? Pertanyaan ini diajukan oleh Boellstorff dengan membawa konsep ‘digital real’ (ihwal digital yang nyata),
yakni sebuah upaya penting dalam teori antropologi berkaitan dengan ‘ontological turns’ (perubahan ontologis).
Boellstorff menyanggah pernyataan yang kerap membenturkan antara ‘yang digital’
dan ‘yang nyata’. Seolah lawan dari ‘digital’ adalah ‘nyata’. Padahal, oposisi
dari nyata (real) adalah ‘tidak nyata’
(unreal), sementara oposisi dari
digital adalah fisikal (physical). Lantas
berarti, ada hal digital yang real
(Boellstorff menyebutnya digital real)
dan ada pula digital yang tidak nyata sebagaimana banyak hal fisikal yang nyata
juga tidak nyata. Boellstorf mencontohkan bahwa dunia virtual itu adalah sebuah
‘tempat yang nyata’ sebab dia ada dan orang bisa ke sana semaunya.
Bonilla dan Rosa
membahas ‘etnografi tagar’ (hashtag
ethnography) dengan meneliti bagaimana protes (aktivisme) bisa dilakukan
secara digital. Melalui tulisannya, mereka menjelaskan bagaimana dan mengapa platform media sosial (melalui tagar)
bisa menjadi sebuah situs luar biasa yang dapat mendokumentasikan beberapa kejadian,
misalnya kebrutalan polisi dan kesalahan representasi tubuh yang dianggap rasis
melalui media arus utama. Bonilla dan Rosa berargumen bahwa tagar bisa menjadi
‘lokasi penelitian’ untuk melakukan etnografi. Dengan tagar, etnografer bisa
melacak teks yang membahas informasi spesifik terkait ihwal yang ingin
diteliti. Di sini kita lihat bagaimana tagar menjadi ‘tempat yang nyata’
seperti yang dibahas Boellstorf.
Madinaou dan Miller
menyarankan sebuah konsep baru, yakni polymedia untuk menjelaskan fenomena
orang-orang yang menggunakan media secara bergantian (email, aplikasi pesan
instan, panggilan audio, panggilan video ‘real-time’,
media sosial, dll) dalam berbagai situasi untuk mengatur perasaan dan hubungan
mereka. Konsep polymedia ini menjadi sangat penting karena kita butuh ‘nama’ untuk menjelaskan situasi ini sebab hampir bisa
dipastikan bahwa di masa depan yang tidak terlalu jauh, akan terus bermunculan
aplikasi interaksi jarak jauh dan bisa saja,
digital real yang dibahas oleh Boellstorff menjadi hampir sulit dibedakan
dengan ‘physical real’. Sebagai
tambahan, Polymedia punya berbagai dimensi, salah satunya berkaitan dengan tanggung
jawab moral, yakni sebuah nilai-nilai normatif mengenai bagaimana orang
seharusnya berperilaku secara daring.
Berbicara mengenai tanggung
jawab moral melalui media daring, Gershon membahas bagaimana orang-orang
memahami media (ideology media) dan bagaimana mereka menggunakan media tersebut
(mode praktik). Gershon menganggap bahwa penting untuk tahu ideology media
seseorang sebelum memahami bagaimana orang tersebut bertindak melalui teknologi
(melalui polymedia, kalau ktai pakai istilah Bonilla dan Rosa). Selain itu,
penting juga untuk tahu apa saja ‘struktur’ yang ada dalam sebuah media dan
kapan ‘struktur’ tersebut dianggap penting. Misalnya, lebih pantas mana,
mengakhiri sebuah hubungan melalui email, aplikasi pesan instan, atau melalui
telepon?
Referensi:
Boellstorff,
Tom. 2016. ‘For
Whom the Ontology Turns: Theorizing the Digital Real’. Dalam Current Anthropology, Vol. 57, No. 4, pp.
387-407.
Bonilla,
Yarimar dan Jonathan Rosa. 2015. ‘#Ferguson: Digital Protests, Hashtag
Ethnography and the Racial Politics of Social Media in the United States’.
Dalam American Ethnologist, vol. 42,
no. 1, pp. 4-17.
Madianou,
Mirca dan Daniel Miller. 2012. “Polymedia: Towards a New Theory of Digital Media
in Interpersonal Communication.” Dalam International
Journal of Cultural Studies, vol. 16, no. 2, pp. 169-187.
Gershon,
Ilana. 2010. The Breakup
2.0: Disconnecting Over New Media. New York: Cornell University Press.
Komentar
Posting Komentar