Oleh: Batara Al Isra (Penulis, Bergiat di Forum Lingkar Pena)
![]() |
Sumber: reddit.com. Diunggah oleh akun |
Dalam
menulis sebuah cerpen, tokoh merupakan salah satu unsur cerpen yang begitu
penting. Seorang cerpenis tidak menulis tokoh ala kadarnya. Sebab pada
dasarnya, tokoh yang kita ceritakan, meskipun berasal dari imajinasi belaka,
seharusnya ia bisa mewakili beberapa sisi dari kehidupan manusia. Terkadang,
cerpen yang kurang baik sebetulnya berasal dari karakterisasi yang kurang baik
pula (kurang dalam dan bahkan tidak logis).
Dalam sebuah kelas daring yang diinisiasi oleh FLP ranting Unversitas
Muhammadiyah Makassar, saya membagikan beberapa catatan yang mungkin bisa
bermanfaat bagi teman-teman mengenai bagaimana
kita bisa membuat tokoh yang baik dalam sebuah cerpen.
Yang
paling awal, teman-teman harus sadar betul beda antara cerpen dan novel
(novelet,cerbung, atau jenis-jenis fiksi yang lain). Yang namanya cerpen, itu
pasti pendek sebab tujuannya diselesaikan dalam sekali duduk (kira-kira
maksimal delapan halaman HVS lah). Nah, karena dia terbatas, maka kita harus
menyesuaikan apa-apa yang hendak kita sampaikan (termasuk konlfik dan
karakterisasi tokoh) dalam wadah yang terbatas ini.
Jangan
membuat cerpen yang tokohnya banyak (berlaku juga untuk konflik, jangan buat
banyak konflik, cukup satu konflik utama). Jumlah tokoh, sebaiknya maksimal
empat orang saja. Malah, ada cerpen yang tokohnya cuma satu, 'aku', misalnya, atau
cuma 'dia'. Kenapa? Karena kalau tokohnya banyak, beberapa dari mereka hanya akan jadi 'sampah'.
Karakterisasinya tidak dapat, membuat pembaca bingung, dan berakhir sebagai cerpen
yang tidak jelas.
Kesalahan
penulis pemula dalam membuat tokoh adalah, memberikan nama kepada tokoh
meskipun tokoh tersebut hanyalah figuran. Misal, sebuah cerpen yang membahas
tentang persahabatan di bangku sekolah (tiga orang misalnya, anggaplah namanya
Bayu, Indra, dan Agni). Penulis sebaiknya fokus membangun dan 'mengulang-ulang'
ketiga nama yang sudah kita tetapkan sebagai tokoh ketimbang menyebut nama
tokoh lain yang tidak ada hubungannya dengan (atau berperan sangat minim) dalam
ceritanya. Misalnya tiba-tiba tokoh Indra menyebut dua nama temannya, lalu
tokoh Bayu menyebut lagi nama temannya yang lain, ditambah narator menyebutkan
lagi secara eksplisit seperti:
"Teman sekelas Indra yang
lain, Sulastri, tidak terima atas perlakuan
Agni kepadanya".
Nah,
kalau terlalu banyak nama tidak penting, pembaca akan bingung.
Tokoh
sebenarnya ada tiga jenis: protagonis (tokoh utama); antagonis (lawan dari
tokoh utama); dan tritagonis (tokoh ketiga). Kesalahan umum yang sering terjadi
adalah menganggap bawha protagonis itu ‘tokoh baik’ dan antagonis adalah ‘tokoh
jahat’. Salah. Protagonis adalah tokoh utama, mau baik mau jahat, kalau dia
adalah fokus dari cerpen itu, maka dialah protagonisnya. Kalau tokoh utamanya
jahat, berarti justru dialah protagonis, kalau lawan dari tokoh utama adalah
tokoh yang baik, maka tokoh yang baik inilah antagonisnya. Tritagonis tetap
tokoh 'ketiga', biasanya dia menjadi penengah ketika ada konflik. Bahkan, bisa
saja, ada cerpen yang semua tokohnya adalah 'orang jahat'. Logika sederhananya,
kita bisa lihat pada film. Di film Joker (2019),
siapakah tokoh utamanya? Kalau Joker,
apakah dia baik atau apakah dia jahat? Lantas, apakah dia protagonist atau
antagonis?
Sebetulnya,
perwatakan atau karakter tokoh itu bisa dibentuk/digambarkan dengan tiga cara:
1. melalui dialog; 2. penggambaran fisik tokoh; 3. penjelasan langsung si tokoh.
Dialog
sangat penting untuk memberikan kesan cerita yang mengalir dan alami dalam cerpen.
Dialog ini bisa kita jadikan media untuk menggambarkan karakter seorang tokoh,
misalnya:
"Indra itu anaknya penakut
ternyata," kata Bayu.
"Pengecut! Karena sudah lama
berteman, saya malah bosan hadapi dia," sahut Agni.
"Hahaha masa bicara di depan wanita
saja ia tak bisa, payah sekali."
Dari
potongan dialog di atas, kita bisa tahu kalau karakter tokoh Indra itu penakut,
pengecut dan sejenisnya.
Jika
melalui penggambaran fisik tokoh:,biasanya, ada beberapa hal umum yang diterima
sebagai 'common sense' atau sesuatu
yang 'pasti' oleh pembaca. Misalnya, ketika kita menulis:
Di hari pertama sekolah, Indra
memakai kacamata dengan lensa yang hampir setebal buku tulis miliknya.
Rambutnya disisir rapi -kadang belah tengah- dan bajunya kerap dimasukkan ke
dalam celana, bahkan hingga bel pulang telah dibunyikan. Indra mungkin
satu-satunya siswa yang betah di perpustakaan sampai berjam-jam.
Dari
potongan paragraf di atas, kita bisa mengambil kesimpulan kalau si tokoh Indra
ini orangnya cupu, kutu buku, dan rajin. Tahu darimana? Dari penggambaran
fisiknya: pakai kacamata berlensa tebal. rambut disisir rapi/klimis, dan
lain-lain.
Selain
kedua hal tersebut, karakterisasi tokoh juga bisa kita gambarkan melalui
penjelasan langsung tokoh. Hal ini sebenarnya paling umum dan paling gampang
dilakukan. Yaitu dengan menjelaskan langsung secara to the point karakter seorang tokoh itu bagaimana (disebutkan
secara eksplisit oleh narator atau bahkan si tokohnya sendiri). Misalnya:
Indra adalah seorang pecundang. Ia
tak bisa mengeluarkan kata-kata di hadapan seorang wanita.
Atau
kalau kita pakai sudut pandang ‘aku’:
Aku adalah pecundang. Penakut yang
tak bisa bicara di hadapan seorang wanita.
Akan
tetapi, dalam menggambarkan karakter, kita harus berhati-hati dalam bagaimana
memasukkan karakter itu dalam tulisan kita. Biasanya, sebagai penulis pemula,
sebaiknya kita menulis cerpen dengan cara 'menggambarkan' (showing) ketimbang 'menceritakan' (telling) prinsip ini biasa disebut sebagai 'show,
don't tell'. Apa maksudnya? Narator (kalau tokohnya pakai sudut pandang
orang ketiga), tidak usah bercerita banyak dengan menjelaskan hal-hal yang
sifatnya 'abstrak' dan tidak 'imaginable'.
Contoh:
Indra adalah seorang pecundang. Ia
tak bisa mengeluarkan kata-kata di hadapan seorang wanita. Ini tipe ‘telling’.
Bandingkan
dengan:
Siang yang basah sehabis hujan.
Indra masih berdiri mengingat bagaimana rekan-rekannya memanggil ia pecundang
karena kata-kata pantang keluar dari mulutnya ketika berhadapan dengan seorang
wanita. Ia ditertawakan, seperti seekor domba yang hilang dari kawanan.
Ini tipe showing.
Lebih panjang, lebih puitis, dan lebih imajinable.
Lebih
bagus yang mana? Tergantung ide ceritanya. Tapi untuk belajar membangun
karakter, saya pribadi menyarankan menggunakan tipe showing.
Intinya,
setiap tokoh tentu punya karakternya masing-masing. Karakter ini biasa juga disebut
perwatakan. Penggambaran karakter dalam cerpen memang tidak serumit dalam
novel. Kedalamannya pun tidak sedalam karakter-karakter novel. Tapi setidaknya,
setiap tokoh harus punya karakternya sendiri-sendiri, dan harus konsisten -ini
kuncinya. Kekonsistenan ini akan berdampak ke logika cerita. Bagaimana sebuah
tokoh punya karakter yang konsisten. Kalau misalnya sudah digambarkan bahwa
tokoh Indra ini takut bicara di depan wanita,
sampai cerpen selesai, ia harus seperti itu. Jangan bikin adegan dimana
tokoh Indra tiba-tiba bisa bicara di depan perempuan yang ia taksir, misalnya,
atau tokoh perempuan lain dalam cerita, atau siapa. Toh, bukannya tokoh Indra
ini penakut?
Teman-teman
harus mampu memilah, mana tokoh yang harus punya karakterisasi yang dalam, dan
mana tokoh figuran yang sebetulnya tidak terlalu signifikan sehingga tidak
terlalu butuh kita pikirkan karakterisasinya. Ingat, meski ini cuma cerpen dan
bukan novel, teman-temanlah yang menentukan tokoh dan perwatakan dalam dunia
yang teman-teman telah ciptakan.
siapp....trimakasih banyak kak sharingnya
BalasHapusTerima kasih, Unni. I do appreciate this. :) semoga bermanfaat.
HapusSuka pnjlsannya. Bermanfaat
BalasHapussiap, terima kasih banyak. :)
Hapus