Oleh: Andi Batara Al Isra (Mahasiswa pascasarjana the University of Auckland)
![]() |
Foto: Batara Al Isra |
Kota Makassar merupakan
kota yang menjadi pintu gerbang menuju Kawasan Timur Indonesia.
Sebagai kota metropolitan, Makassar tumbuh dan berkembang dengan ditunjang
berbagai fasilitas ‘modern’ yang mendukung, seperti sarana hiburan, mall, hotel
berbintang, apartemen mewah, aneka mart (terutama trio -mart, -midi, -maret), ruko-ruko,
serta perumahan mewah turut menyemarakkan pembangunan Makassar. Melihat hal
itu, pemerintah kota Makassar berniat menjadikan Kota Makassar sebagai kota dunia
(world city). Pertanyaannya, apakah Makassar siap menjadi kota dunia?
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan sedikit ‘pencerahan’ kepada teman-teman
mengenai Kota Makassar yang katanya siap menjadi kota dunia.
Sebelum melangkah lebih
jauh, ada baiknya jika kita ‘berkenalan’ dengan konsep tersebut. Kota dunia (world
city), atau kota global (global city) biasa juga disebut kota alfa (alpha
city) diperkenalkan oleh Patrick
Geddes, seorang biolog, sosiolog, geografer, filantropis, dan
seorang pioneering town planner yang sezaman
dengan Herbert Spencer (seorang
ilmuwan di bidang sosial yang teorinya banyak dipakai dan dipejarai di
universitas-universitas). sedangkan konsepnya sendiri diperkenalkan
oleh Departemen Geografi
Loughborough University. Konsep ini bersandar pada gagasan bahwa
globalisasi dapat diciptakan, difasilitasi dan diundang ke tempat yang
strategis.
Makassar Sebagai Kota
Dunia?
Syarat sebuah kota untuk
menuju kota dunia terlebih dahulu harus didukung oleh beberapa aspek, di antaranya
aspek ekonomi, politik, infrastruktur, dan sosial-budaya.
Dari segi ekonomi, Kota
dunia harus memiliki perusahaan multinasional, lembaga keuangan nasional,
memiliki kemampuan keuangan yang kuat, dan memiliki penyedia jasa
keuangan. Kota Makassar telah mempersiapkan hal
ini, adanya perusahaan multinasional seperti Kalla Group dan Bosowa
membuktikan bahwa Makassar sudah sedikit matang dalam persoalan ekonomi.
Dari segi politik, Kota
dunia harus berpartisipasi aktif dan memiliki pengaruh dalam kegiatan
internasional. Kota Makassar sudah membuktikan hal tersebut dengan adanya
kerjasama antar beberapa kota seperti adanya program From Melbourne to
Makassar yakni kerjasama antara Pemkot Makassar dengan pemerintah Kota
Melbourne di Australia.
Dari segi
infrastruktur, kota dunia harus menyediakan sistem transportasi
cepat dan internasional, skyscraper (gedung pencakar langit), dan percepatan pembangunan yang luar
biasa. Makassar sudah hampir memenuhi persyaratan ini. Adanya Bandara
Internasional Sultan Hasanuddin, serta dibangunnya sistem transportasi kereta
trans Sulawesi menunjukkan kesiapan infrastruktur menuju kota dunia.
Dari segi budaya, kota dunia
harus menjadi pusat seni, media, film, televisi, musik dan dokumen-dokumen
sastra. Makassar juga sudah setengah jalan dalam mempersiapkan hal ini.
Berkembangnya media lokal dan dokumen sastra yang telah
mendunia menjadi bukti bahwa Makassar telah siap menjadi Kota Dunia.
Salah satu kegiatan seni yang kerap mengundang perhatian dunia internasional
adalah Makassar International Writers Festival (MIWF) yang rutian diadakan
setiap tahunnya.
Kota Dunia sebagai
Wacana Modernisme
Namun, menurut saya
pribadi, sepertinya Kota Makassar belum terlalu siap. Masih banyak hal yang
perlu dipikirkan sebelum bermimpi menuju kota dunia. Jika kita tinjau secara
kritis, maka kita akan menemukan bahwa konsep kota dunia (world city) merupakan
sebuah produk dunia modern. Kota dunia yang merupakan hasil dari sebuah gagasan
bahwa globalisasi dapat diciptakan, difasilitasi dan diundang ke tempat
strategis merupakan sebuah gagasan yang modernis. Efek yang dihasilkan dari
proses tersebut tentu saja seperangkat bentuk budaya konsumtif. Bisa
dibayangkan jika globalisasi benar-benar telah ‘hadir’ di tengah-tengah kita,
maka perilaku konsumtif bisa saja menjamur di seluruh lapisan masyarakat kota
Makassar.
Jean Baudrillard dalam bukunya The Consumer Society: Structure and
Myth sependapat dengan Emile Durkheim bahwa konsumsi bukanlah perilaku
individu, tetapi ‘perilaku kolektif’ atau sesuatu yang dipaksakan
oleh moralitas dan keseluruhan sistem nilai. Jika seperti ini, maka budaya
konsumtif yang berasal dari proses globalisasi yang ‘katanya’ dapat diciptakan,
difasilitasi, dan diundang hanya menguntungkan beberapa pihak saja atau kita
sering menyebutnya pihak kapitalis. Jika sudah seperti ini maka jelas, wacana
kota dunia atau world city hanyalah sebuah wacana modernisme.
Seperti yang telah
disampaikan sebelumnya, pembangunan-pembangunan dari aspek di atas sebenarnya hanya
dinikmati oleh kalangan elit semata. Rakyat miskin kota belum bisa menikmati
hal-hal tersebut. Siapa yang bekerja pada perusahaan multinasional
dan lembaga keuangan negara? Siapa yang ke rumah sakit ternama untuk memperoleh
perawatan yang ‘layak’? Siapa yang ke mall-mall untuk shopping barang-barang
kebutuhan tersier? Siapa yang berpartisipasi dalam pergulatan politik nasional?
Siapa yang selalu berlalu-lalang di lantai-lantai tinggi skyscrapers?
Siapa yang selalu ke bandara untuk naik pesawat kemudian traveling keliling dunia? Mereka adalah para ‘orang kaya’ atau
‘orang-orang elit’atau bahasa yang selalu kita gunakan, kaum kapitalis. Rakyat
miskin kota dan orang-oramg yang tidak mampu pada ke mana?
Menurut Amri Marzali, teori-teori pembangunan
tidak akan pernah lepas dari teori-teori ekonomi. Begitu pun pembangunan kota
Makassar untuk menuju kota dunia, tidak akan pernah lepas dengan teori dan
kebijakan ekonomi pembangunan. Namun yang perlu kita renungkan adalah,
negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia memiliki kebijakan dan arah
pembangunan yang didominasi oleh model-model pemikiran ekonomi liberal-kapitalis
gaya Amerika.
Jika Indonesia pada
umumnya dan kota Makassar pada khususnya terus membangun dengan cara seperti
ini untuk menjadi kota dunia, maka selain budaya konsumtif, dampak negatif dari
pembangunan tersebut adalah konflik antargolongan dan degradasi moral. Beberapa
tahun terakhir, kita bisa melihat suburnya perilaku, nepotisme, sadistis,
agresif, materialistis, individualistis, dan hedonistis. Perilaku-perilaku ini
merupakan konsekuensi logis dari globalisasi dan pembangunan ekonomi yang
sedang dijalankan. Bukankah kita resah dengan hal-hal seperti ini?
Namun bukankah ini yang kita harapkan? Makassar menjadi kota dunia.Terkesan paradoks
memang, karena wacana kota dunia hanya akan menjadi pedang bermata dua yang
salah satu matanya menusuk sang empunya sendiri.
Melihat kenyataan bahwa
globalisasi memang tidak bisa dihindari, maka yang perlu kita lakukan adalah
mengambil manfaat dari globalisasi itu secara simbiosis mutualisme
(menguntungkan semua pihak) tidak dengan simbiosis parasitisme yang hanya
menguntungkan beberapa pihak saja (kapitalis) sedangkan pihak lain dirugikan.
Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah mendahulukan pembangunan mental
dibandingkan pembangunan fisik. Seperti peningkatan kualitas
pendidikan, yakni pendidikan formal dan khususnya pendidikan non-formal
(alternatif). Percuma kita membangun fasilitas-fasilitas modern yang
ujung-ujungnya hanya dinikmati oleh kelompok elit semata sedangkan golongan
miskin belum bisa menikmatinya.
Selain itu, pembangunan
fisik sebaiknya dilandaskan pada pembangunan yang bersifat kelokalan.
Kota-kota di dunia bisa menjadi world city karena kota
tersebut unik dan memiliki karakteristik serta ciri khas masing-masing.
Misalnya kota Jogjakarta yang terkenal dengan artsitektur khas keratonnya,
Denpasar yang terkenal dengan arsitektur khas Hindu Balinya, London yang
terkenal dengan arsitektur victoria-nya dan Roma dengan arsitektur
khas abad pertengahannnya. Sedangkan Makassar? Sudah seharusnya arsitektur
bangunan dipermak sedemikian rupa sehingga bercirikan khas Makassar bukan ruko
yang bertebaran di mana-mana dengan arsitektur yang sok minimalis.
Sebagai penutup dari
artikel ini, saya hanya ingin berkata bahwa kota dunia hanyalah sebuah wacana
modernisme yang berasal dari gagasan bahwa globalisasi dapat diciptakan,
difasilitasi, dan diundang ke tempat yang strategis. Proses ini membuat
masyarakat terinfeksi virus konsumeris yang ujung-ujungnya hanya menguntungkan
pihak kapitalis. Sudah saatnya kita kembali pada pola hidup sederhana seperti
yang diajarkan oleh leluhur kita dan ajaran agama kita yang penuh dengan
nilai-nilai kearifan.
Komentar
Posting Komentar