![]() |
Ilustrasi: silabus.web.id |
Tulisan ini berangkat dari hasil bacaan saya terhadap lima
buah bacaan mengenai konsep dan sejarahnya (referensinya saya cantumkan di
akhir). Dari kelima bacaan tersebut,
saya memahami beberapa titik temu yang menarik. Semuanya saling berkaitan dan
terjadi diskusi antarbacaan secara tidak langsung. Titik temu yang saya maksud
adalah semua bacaan mengarahkan pemikiran saya kepada bagaimana sebuah konsep
bekerja (serta hubungannya dengan realitas), bagaimana hubungan antara power dan culture, serta salah satu yang paling menarik adalah pembahasan
mengenai hegemoni.
Konsep adalah sebuah ‘konsep’ yang sangat sering saya dengar
bahkan sejak duduk di bangku high school. Tapi, bacaan yang diberikan baru
benar-benar membuat saya berusaha menyelami konsep dari ‘konsep’ itu sendiri.
Terutama dari tulisan Gerring, saya kemudian memahami bagaimana sebuah konsep
bisa tercipta dalam social science
dan seperti apa yang dimaksud dengan konsep yang baik. Gerring menulis, a good concept setidaknya memiliki eight categories, yakini familiarity (familiar di kalangan
akademisi), resonance (beresonansi
dengan konsep yang lain), parsimony (‘hemat’,
yang berarti, terbatas sekaligus tidak terlalu sukar dipahami), coherence (koheren), differentiation (memiliki pembeda
dengan konsep yang lain), depth (dalam), theoretical utility (memiliki kegunaan
teoritis), dan field utility (memiliki kegunaan ketika digunakan di lapangan
–untuk penelitian misalnya-).
Hal ini tentu sangat penting sebab Gerring sendiri menulis bahwa ‘concepts
are a central concern and are critical to the functioning and evolution of
social science’ (konsep merupakan pusat perhatian sekaligus ihwal kritis
dalam evolusi dan berfungsinya ilmu
sosial). Gerring pun mengutip Weber
bahwa ‘progress of cultural sciences
occurs through conflicts over terms and definition’ (perkembangan ilmu-ilmu
budaya dapat terjadi melalui konflik antaristilah dan definisi). Lalu, mengapa
isu konsep ini menjadi central concern?
Sebab menurut Weber, social science
adalah ‘empirical science of concrete
reality’ (sains empiris terhadap realitas konkret) yang berusaha dipahami
melalui qualitative aspects
(aspek-aspek kualitatif). Karena hal tersebut adalah qualitative aspects (yang tidak bisa diukur secara quantitative), konsep memegang fungsi
penting untuk membantu para ahli ilmu-ilmu sosial memahami realitas empiric, meski
menurut Weber sendiri, memahami ‘concrete
phenomenon in its full reality is impossible and nonsense’ (memahami
fenomena konkret dalam realitas yang sepenuhnya adalah mustahil dan tidak masuk
akal).
Perlu digaris bawahi pula bahwa yang menjadi poin penting
adalah konsep mungkin memiliki makna berbeda tergantung different fields and
sub-fields sebab konsep itu flexible, Gerring bahkan mengatakan ‘perhaps, all key social science concepts are
multivalent’ (mungkin, semua konsep-konsep kunci dalam ilmu sosial itu multivalent).
Hal inilah yang dimanfaatkan oleh beberapa pihak untuk menyalah gunakan
konsep-konsep tersebut demi kepentingan merekea sendiri (‘misused the concept for particular purposes’), misalnya untuk
politik. Oleh karena itu, sangat penting mengikutkan konteks dalam setiap
konsep yang dikemukakan. Contoh yang baik dalam kasus ini adalah ‘concept of ideology’ yang bahkan
memiliki 35 atribut.
Terkait dengan contoh konsep yang dibahas oleh Gerring (ideology), tulisan Jean and John
Comaroff banyak menyinggung persoalan tersebut, seolah memberikan penjelasan
lebih terkait ideologi, budaya, dan hegemoni (pembahasan menarik lainnya). J
and J Comaroff mengaitkan konsep ideologi dan hegemoni sebagai ‘dominant forms which power enters’
(bentuk-bentuk dominan dimana kuasa bisa masuk). Hegemoni memang sangat lekat
dengan Gramsci bahkan saya menganggap Gramsci adalah hegemoni itu sendiri.
Dalam tulisan Crehan, hegemoni adalah mengenai ‘how power is produced and reproduced’ (bagaimana kuasa terus
diproduksi dan direproduksi). Yang menarik dalam tulisan tersebut, Crehan
mengutip beberapa ahli yang juga membahas ideologi, seperti Raymond Williams
dan J and J Comaroff. Tulisan Crehan memberikan pencerahan mengenai bagaimana
konsep ideologi, budaya, dan hegemoni itu dipahami berbeda oleh beberapa ahli,
terutama William. Di sinilah dilihat bagaimana pentingnya seorang yang terjun
di bidang ilmu sosial untuk memahami konsep yang digunakan dengan baik.
Lebih lanjut, tulisan Gunn juga membahas tentang konsep
hegemoni (dan tentu, Gramsci). Meski seperti itu, sebenarnya, Gunn
memembandingkan bagaimana konsep mengenai power
dalam social history itu terus
berubah. Perbandingan paling jelas
terlihat dari bagaimana konsep power
dipandang dalam diskursus hegemoni oleh Gramsci, sementara Foucault
memandangnya dalam diskursus governmentality
(praktik-praktik terorganisasi mengenai bagaimana subjek diperintah), dan
Poovey dalam diskursus metaphor of social
body (metafora tubuh sosial).
Referensi:
Comaroff, Jean dan John Comaroff. 1991. Culture, Hegemony,
Ideology. Dalam Of Revelation and
Revolution Vol. 1.
Crehan, Kate. 2002. Gramsci Now. Dalam Gramsci, Culture, and Anthropology.
Gerring, John. 1991. What Makes a Concept Good? Dalam Polity XXXI(3).
Gunn, Simon. 2006. From Hegemony to Governmentality:
Changing Conceptions of Social Power in Social History. Dalam Journal
of Social History 39(3).
Weber, Max. 1977 (1904). “Objectivity” in Social Science and
Social Policy. Dalam Understanding and
Social Inquiry (oleh Fred R. Dallmayr dan Thomas A. McCarthy, eds.)
Penulis:
Andi Batara Al Isra (Mahasiswa pascasarjana di University of
Auckland, New Zealand)
Komentar
Posting Komentar