Oleh: Batara Al Isra (Penulis. Bergiat di Forum Lingkar Pena Sulsel)
Tulisan
ini bermula dari sebuah ajakan diskusi melalui grup WA yang dikombinasikan
dengan live di Instagram FLP UIN Alauddin, Makassar. Judul diskusinya sama
dengan tulisan ini, suatu topik yang sangat luas untuk membicarakan ihwal ini.
Satu jam live IG tidak akan cukup. Membahas penulis dan sepak terjangnya
sepanjang masa saya kira tidak akan pernah selesai kita bahas. Apa lagi jika
kita harus membahas ‘seluruh’ penulis yang pernah ada. Oleh karena itu, akan
sangat baik jika yang kita bahas adalah hal-hal ‘paling penting’dari yang
terpenting mengenai peran penulis sepanjang zaman. Tentu, kita akan membahas
hal-hal yang dekat dengan kita, sehingga kita bisa relate alias terhubung dengan apa yang akan kita bahas.
Mari kita mulai semuanya dari sebuah
kutipan sederhana tapi tidak akan pudar dari seorang Pramoedya Ananta Toer.
Beliau pernah bilang “menulis adalah kerja-kerja keabadian.” Tentu saja, bukan?
Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan karya. Karya yang
sangat mungkin mengabadi adalah tulisan. Dengan tulisan, kita memindahkan ide
kita, gagasan kita, imajinasi kita, le sebuah bentuk materi yang kemudian bisa
bertahan dan bisa terus tereproduksi. Dengan kata lain, kita memindahkan ‘diri
kita’, mengubah wujudnya menjadi kata-kata, atau kata-kata adalah perwujudan
dari kita. Dalam kesempatan yang singkat ini, kita akan membagi pembahasannya
ke dalam tiga babak: apa yang dilakukan penulis dalam konteks masa lalu, masa kini,
dan kelak di kemudian hari.
Tulisan punya sejarah panjang,
begitu juga dengan penulis. Tulisan pertama muncul sekira 3200 tahun sebelum
masehi atau lebih dari 5.000 tahun lalu. Tulisan dalam bentuk cuneiform atau yang kita kenal sebagai
huruf paku itu dikembangkan oleh orang Sumeria di kawasan Mesopotamia, yang
kemudian hari juga dikembangkan oleh orang Akkadia dan Babylonia. Kota tempat
ditemukannya tulisan itu disebut Ur atau Uruk. Kota ini, bagi sebagian peneliti
dianggap sebagai kota tempat Nabi Ibrahim tinggal. Siapa yang pertama kali
mulai menulis? Semuanya masih misteri. Setidaknya, tulisan ini menjadi cikal
bakal dari tulisan-tulisan yang muncul kemudian, menelurkan jenis-jenis tulisan
lain sepanjang sejarah umat manusia.
Tulisan, pada dasarnya adalah
indikator bagaimana sebuah masyarakat itu dianggap memiliki kebudayaan yang
tinggi. Kebudayaan yang berhasil menciptakan tulisan merupakan kebudayaan yang
sangat maju. Di Indonesia sendiri, tulisan tertua yang bisa dilacak terpatri
pada prasasti-prasasti yang paling tua bisa kita temukan sebagai milik Kerajaan
Kutai di Kalimantan Timur, sekira tahun 400 M (Nabi Muhammad bahkan belum
lahir), menyusul prasasti di berbagai kerajaan kuno Nusantara, seperti kerajaan
Tarumanegara dan Mataram. Bagaimana dengan di Sulawesi? Kebudayaan di pulau
ini, juga bisa dibilang maju. Penggunaan aksara lontaraq menandakan itu. Ada banyak kebudayaan di dunia yang tidak
memiliki aksaranya sendiri. Naskah sureq
Galigo, yeng kemungkinan ditulis sejak tahun 1.200an dan dianggap sebagai
epos sastra terpanjang mengalahkan Ramayana-Mahabharata di India dan Odyssey di
Yunani telah dianggap sebagai warisan dunia oleh UNESCO.
Masih membahas masa lalu, memasuki
masa penjelajahan samudera, ada banyak fakta menarik yang bisa kita gali. Misalnya,
pernahkah terpikirkan oleh kita bahwa Nusantara itu bisa dijajah karena sebuah
buku? Jangan salah, buku yang ditulis oleh Jan Huyghen van Linschoten berjudul Itinerario: Voyage ofte schipvaert van Jan
Huygen van Linschoten naer Oost ofte Portugaels Indien, 1579-1592 adalah alasan mengapa VOC bisa sampai ke
tanah air. Apa isi buku tersebut? Buku tersebut menceritakan bagaimana ‘tips
dan trik’ menuju Hindia-Portugis (Nusantara). Buku tersebut lalu diterbitkan di
bawah perintah Ratu Belanda dan disebar luaskan. Buu tersebut menjadi acuan
bagi pelayar-pelayar Belanda yang akhirnya bisa membuang sauh kali pertama di
lautan Nusantara.
Setelah
membahas masa lalu, mari kita lihat hari ini. Apa yang penulis-penulis
‘kontemporer’ telah lakukan? Saya kira, sangat penting untuk kita yakini bahwa
penulis juga merupakan ‘agen perubahan’. Banyak penulis yang kemudian
ditangkap, diasingkan, bahkan dicabut haknya karena menyuarakan hal-hal yang
dianggap bisa ‘menganggu’ zona nyaman sebagian orang. Pernyataan ini cenderung
politis, tapi bukankah begitu? Bagaimana penyair Widji Thukul ‘diculik’ karena
menyuarakan kritik keras terhadap istana dan bagaimana Pramoedya diasingkan ke
Pulau Buru.
Tapi
tidak adil jika kita tidak membahas hal yang terdengar membahagiakan. Tulisan,
memiliki ‘kuasa’ untuk mengubah perilaku sebagian orang, dengan kata lain,
membawa perubahan (seperti bagaimana Indonesia dijajah, misalnya). Mari kita
tilik fakta-fakta yang mungkin saja telah kita saksikan. Pernah berpikir
bagaimana istilah akhi, ukhti, taaruf, dan lain-lain menjadi familiar?
Istilah itu mulai ramai ketika Habiburrahman El Shirazy menulis Ayat-Ayat
Cinta (lalu difilmkan),istilah-istilah tersebut lalu ‘meledak’ di
masyarakat. Itu salah satu contoh bagaimana penulis ‘mengubah’ suatu pandangan
masyarakat. Belum lagi jika kita melihat bagaimana Andrea Hirata muncul dengan
tetralogi Laskar Pelangi-nya yang membuat mata orang Indonesia melek
akan pendidikan di pelosok negeri, atau bagaimana Donny Dirgantara
melalui novel 5 CM membuat orang berbondong-bondong ingin mendaki. Tentu
kita masih bisa menambah daftar panjang bagaimana penulis yang hidup di era
kita (terutama di Indonesia) punya pengaruh besar terhadap kehidupan kita,
sadar atau tidak sadar. Misalnya lagi (tangan saya gatal untuk menambah
daftarnya), bagaimana orang mulai jatuh cinta terhadap puisi setelah membaca
Aan Mansyur, Sapardi Djoko Damono, atau Joko Pinurbo yang sekarang sedang naik
daun. Atau bagaimana kaum ‘Senja Empire’ mulai bermunculan setelah membaca buku-buku
puisi, bahkan prosa-prosa menye ala Fiersa Besari. Semua itu berdampak
pada bagaimana kita memandang kehidupan.
Mari
kita melompat ke masa depan dengan cepat. Melihat tren penulisan saat ini.
Penulis tidak akan pernah mati. Sejak 5000 tahun lalu, toh penulis akan selalu
ada. Yang berubah hanyalah medianya. Jika di masa Sumeria tulisan terpatri pada
batu, di masa Tutankhamun tertulis di lembaran papirus, di Sulawesi kuno
tertulis di daun lontar, di kertas, dan kini di platform digital, di
masa depan, entah seperti apa. Yang jelas, penulis beserta tulisannya akan
selalu ada. Lalu, apa yang sangat penting dari ini semua? Perkembangan
teknologi. Di era ketika internet mengelilingi kita, tulisan semakin banyak
diproduksi dan jumlah pembaca juga meningkat signifikan. Apa artinya? Penulis
sekarang sangat mudah untuk mengambil peran dan ‘membentuk’ wajah peradaban.
Tulisan pada akhirnya akan selalu menjadi senjata, words as weapons.
Komentar
Posting Komentar