Oleh: Andi Batara Al Isra (Mahasiswa pascasarjana University of Auckland, New Zealand)
![]() |
Sumber: https://www.nytimes.com/2018/04/13/books/review/katherine-verdery-my-life-as-a-spy.html (Joanna Neborsky) |
Isu-isu self-other, native-non-native, subject-object dan dikotomi-dikotomi
lain memberikan jarak antara peneliti dan yang diteliti, antara observer dan
observed. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat menarik bagi saya, sebab meski
pada jenjang undergraduate saya telah
mendapatkan insights mengenai
dikotomi-dikotomi ini, saya belum pernah mengajukan pertanyaan-pertanyaan
kritis yang seharusnya telah saya sadari sebelumnya.
Awalnya, saya merasa saya adalah
seorang native anthropologist (a native who is studying his own culture),
namun, bercermin kembali dari konsep native
saya mempertanyakan sejauh mana batasan native
itu? Pertanyaan ini, menurut Ryang, adalah sesuatu yang memang dilematis. Misalnya,
ketika saya yang seorang Bugis-Makassar hendak meneliti tentang etnis Toraja,
meski sama-sama berada di Pulau Sulawesi, kebudayaan tersebut sangat berbeda
dari segala unsur kebudayaan (kecuali Bahasa yang masih berhubungan). Dalam
kasus ini, apakah saya masih disebut sebagai native anthropologist?
Bercermin dari kasus saya, Narayan
sebetulnya mengkritik konsep-konsep tersebut. Narayan menyatakan bahwa konsep native, non-native dan halfies adalah konsep yang sedikit kabur
dan agak susah untuk dibedakan. Pernyataan Narayan bahwa ‘identity is always multiplex’ (identitas akan selalu jamak) adalah
benar adanya. Tidak ada identitas
tunggal, dan kita, sebagai peneliti cenderung ‘shift our identity in relationship with the people and the issues’
(mengubah identitas di setiap hubungan dengan masyarakat atau isu tertentu).
Hal itu tidak terlepas dari keyakinan Narayan bahwa sebagai antropolog, ‘better to examine which each one of us is
situated in relation to the people we study’ (lebih baik menjelaskan poin-poin
relevan yang berkaitan dengan masyarakat yang kita teliti). Apa yang dibahas
Narayan sesuai dengan pernyataan Ryang and Tsuda. Keduanya yang tinggal di
Amerika kadang diangap sebagai Japanese-American
(Nisei atau shin-nisei) atau kadang-kadang juga dipanggil Japanese (nihonjin).
Lebih jauh, kita juga bisa
melihat tulisan Abu Lughod terkait isu ini. Apa yang hendak disampaikan Abu
Lughod mengenai feminist ethnography
menurut saya adalah sebuah upaya reflektif dalam melihat kajian antropologi
dalam hubungannya dengan the issue of
self and other. Perempuan kadang masih dianggap sebagai ‘the other’ dalam tradisi keilmuan
antropologi yang cenderung maskulin. Bahkan dalam tataran peneliti, suara-suara feminist anthropologist masih
kurang bergaung. Salah satu alasannya adalah ‘the feminist anthropologists hard to speak about women’ (bahkan
antroopolog feminis pun berat membicarakan tentang perempuan). Kehadiran feminist ethnography, menurut Abu Lughod
adalah upaya untuk menyuarakan suara-suara ‘the
other women’, yakni ‘to know women
from other culture or for women by women’ (untuk mengetahui perempuan yang
berasal dari budaya berbeda, alias, dari perempuan untuk perempuan).
Meski begitu, ketimbang terjebak
dalam dikotomi-dikotomi tersebut, Abu Lughod menyatakan bahwa persoalan saat
ini bukanlah untuk menjelajahi sejarah mengenai dikotomi tersebut, tapi
bagaimana berkomunikasi melintasi batas-batas perbedaan tersebut, yakni
bagaimana menjalin dialog with the other.
Sejalan dengan itu, Narayan pun seolah memberikan jalan tengah, bahwa sebagai
antropolog, kita seharusnya fokus pada kualitas hubungan yang kita bangun
dengan orang-orang yang kita teliti. Lebih lanjut, Ryang juga menyatakan bahwa
hubungan antara peneliti dan informan tidak akan berakhir hanya dengan
selesainya fieldwork dan laporan
hasil penelitian pun ditulis.
Setelah membaca mereka semua dan
menyadari bahwa banyak mahasiswa antropologi di Indonesia yang gemar meneliti
masyarakatnya sendiri (termasuk saya pribadi), sebuah pertanyaan mendasar yang
reflektif dan filosofis terus berputar di kepala saya. ‘mengapa saya ingin meneliti kebudayaan saya
sendiri?’
Referensi:
Abu-Lughod, Lila. 1990. Can There
be a Feminist Anthropology? Women and
Performances 5(1).
Narayan, Kirin. 1993. How Native
is a “Native Anthropologist”? American
Anthropologist 95(3).
Ryang, Sonia. 2005. Dilemma of a
Native: On Location, Authenticity, and Reflexivity. The Asia Pacific Journal of Anthropology 6(2).
Tsuda, Takeyuki. 2015. Is Native
Anthropology Really Possible? Anthropology
Toda 31(3).
The gaming floor simply got somewhat sweeter with Triple the Thrill™ – Honey Hearts™! The Top Up 1xbet korean characteristic is triggered during the base sport or free sport by six or more scattered sunflower symbols, awarding three spins. This slot gets even better when the Honey Reel symbol is triggered on reels two, three and four, awarding one Divine Reel spin. If you might be} playing in} a video slot with 100 paylines at $1 per line, your minimum guess is $100 per play. For larger payback percentage, elevated rankings as a player and more customized attention, you may wish to transfer over to the high-limit machines.
BalasHapus